IDE-IDE SENTRAL SYEKH NAWAWI AL-BANTANI TENTANG PENDIDIKAN ISLAM Oleh: Prof. Dr. H. Maragustam, M.A. Abstract Nawawi has many works on religious fields and they sprinkle on his thought of education. Besides as an religious expert, he is educational capable thinker as well. His thought on education is very important to construct because he is a scientist with international reputation. He is also the leader of religious affairs and he has strong impact and his works generated is very qualified. His construction and analysis can be implemented recently in Islamic educational context. As the subject of research o this writing is the thought of Nawawi in basic structure of ideas on Islamic education, their components, the position of their thought on the map of Islamic educational thought which colour his ideas and reflection of his thought on the recent context. The approach of research uses the philosophical elements of education (electives comparative) and thematic. While their analysis use hermeneutic system. The result of research said that this nature is comprehended rationally causality, pure and human resource development is belief in one God-dual-interactive; synthesize between ethnocentrism and anthropocentrism (tauhid ulu>hiyah, rubu>biyah and wa al-s}ifah), and spout any value of instrument of education. In subsequently it can be said that the funding of education is charged to the learner, the family, the government and the final is to the have Moslem. The position of his thought is in the conservative and rational religious area. Key Words: pendidikan, fitrah (potensi, bawaan dasar), konservatif religius, rasional religius, pragmatis instrumental, struktur ide dasar dan nilai pendidikan. I. Pendahuluan Kegelisahan akademik penulis sehingga memilih Syekh Nawawi (selanjutnya disebut Nawawi) yang menjadi objek kajian: Pertama, ia mempunyai karya-karya monumental yang diwariskannya kepada generasi dan karya-karya tersebut masih dapat dibaca dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah bahwa karya-karya tersebut merupakan karyanya. Kedua, ketokohan Nawawi telah diakui secara luas, dia berkaliber regional, nasional dan bahkan internasional. Di dunia Islam, khususnya di Indonesia Nawawi sering disebut-sebut sebagai pemimpin keagamaan yang dihormati dan memiliki pengaruh kuat. Hal tersebut karena selain dia dinilai sebagai ulama terkemuka dan guru besar di Masjid al-Haram, ia juga sebagai pengarang yang produktif (Snouck Hurgronje, 1931: 269) dan pemimpin masyarakat Islam Indonesia di Mekah. Bahkan nama Nawawi salah satu nama sekian banyak tokoh dalam bidang keilmuan yang tercantum dalam Munjid (Ma’lu>f , 1978:581). Di samping itu, Nawawi juga hidup di masa pembaharuan pemikiran keislaman mulai dideklarasikan oleh Abduh (1849-1905) di Mesir. Deklarasi pada abad ke-19 (Delian Noer, 1982:39) tersebut tentu berpengaruh pada diri Nawawi. Dalam pendahuluan tafsirnya terdapat isyarat itu. Ia mengatakan bahwa tidak berlebihan kalau pada setiap masa akan terjadi pembaharuan pemikiran (Nawawi, Murah tth.:2; Nawawi, Sala>lim, tth.:4). Ketiga, dari sekitar 100 karangannya kebanyakan berupa syarh atas karya ulama terdahulu, sekalipun ia mempunyai pemikiran yang orisinal. Memang kecenderungan keilmuan Islam pada abad ke-13 masih diliputi tradisisi taqlid. Tafsir Mura>h barangkali merupakan karya monumentalnya yang orisinal. Karel A.Steenbrink setelah membandingkan antara Tafsi>r Jalalain, Tafsi>r Baid}a>wi, Tafsi>r Mura>h, dan Tafsi>r al-Nu>r menyatakan bahwa karya Nawawi jauh lebih baik dan lengkap (Amin dan Anshory, 1989:105). Menurut Azra, karya-karya semacam syarh dan hasyiyah, mengandung orisinalitas tertentu. Penulisan kedua bentuk karya ini jelas melibatkan proses kreatif, sejak dari memahami apa yang ditulis pengarang, perenungan, refleksi sampai kepada pengungkapan kembali ke dalam bentuk tulisan. Pengungkapan ini pada akhirnya bisa lebih luas dan bahkan berbeda dalam segi-segi tertentu dengan Kitab Kuning yang disyarah atau syarah yang dihasyiyahkan. (Azra, 1999:11 dan 116). Keempat, sekalipun Nawawi adalah maha guru dari ulama ternama di Indonesia, namun pemikirannya tentang pendidikan Islam masih bertebaran di berbagai karyanya dan karenanya perlu dikonstruk menjadi bangunan pemikiran pendidikan Islam yang utuh. Studi ini berusaha mengkonstruk pemikiran Nawawi tentang pendidikan Islam yang tercecer di berbagai karyanya. Permasalahan penelitian ialah pemikiran Nawawi tentang sturuktur ide dasar sebagai pembentuk bangunan pendidikan Islam, komponen, posisi pemikirannya dalam peta pemikiran pendidikan Islam, hal-hal yang mewarnai pemikiran pendidikannya dan refleksi pemikiran pendidikannya dalam konteks sekarang. Para ahli pendidikan Muslim berbeda pendapat tentang struktur ide dasar pendidikan Islam. Pertama, menurut Ainain bahwa struktur ide itu ialah pandangan mengenai filsafat hidup yang digariskan oleh Alquran, yang mencakup: Allah dan hubungan manusia dengan Allah, alam semesta, manusia, masyarakat muslim, masyarakat nasional dan kehidupan akhirat (Ainain, 1980:73-135). Kedua, menurut Abdullah, struktur ide itu meliputi; hakikat manusia, hakikat ilmu dan hakikat akal (Saleh, 1990: 46 dan 89). Ketiga, menurut Jalal, struktur ide itu meliputi watak manusia menurut Islam (Jalal, 1977:25). Keempat, menurut Nahlawi, struktur ide itu, meliputi tiga asas; asas pertama, asas-asas ideal meliputi pandangan Islam tentang manusia, tentang jagad raya dan tentang kehidupan; asas kedua, ialah dasar-dasar pengabdian; dan asas ketiga ialah asas-asas penetapan hukum (Nahlawi, 1966:27-61). Kelima, menurut Syaibani, struktur ide itu meliputi; prinsip-prinsip pandangan Islam mengenai jagad raya, tentang manusia, tentang masyarakat, tentang pengetahuan dan tentang hakikat nilai akhlak (Syaibani, 1979:55, 101, 163, 259 dan 311). Keenam, menurut Muhaimin, bahwa struktur ide itu meliputi hakikat alam, manusia, masyarakat, pengetahuan, nilai-nilai akhlak, dan hidup dan kehidupan dunia akhirat (Muhaimin, 2003:39). Dari berbagai pendapat tersebut, pada prinsipnya mereka sependapat dalam hal membangun struktur ide dasar pendidikan Islam yakni ontologi yakni pandangan Islam tentang jagad raya, manusia, kehidupan dunia akhirat, dan lingkungan masyarakat muslim; epistemologi yakni pandangan Islam mengenai pengetahuani dan aksiologi yakni pandangan Islam mengenai nilai-nilai akhlak. Manusia dalam pendidikan, menempati posisi sentral, karena di samping ia dipandang sebagai subjek, juga sebagai objek pendidikan (Barnadib, 1988:17). Sebagai subjek, manusia menentukan corak dan arah pendidikan. Manusia punya potensi-potensi dan daya untuk dikembangkan, dipelihara dan diberdayakan, yang seterusnya menjadi makhluk yang berkepribadian dan berwatak. Sebagai objek, ia menjadi fokus perhatian segala teori dan praktik pendidikan. Konsep manusia akan menentukan segala sepak terjang dunia pendidikan secara fundamental (Ashraf, 1993:1). Perangkat potensi manusia dalam rangka kajian ilmiah menurut Jalal ialah jasd, ’aql, qalb dan ru>h (Jalal, 1977:33). Dengan potensi, adanya kebebasan berkehendak dan berbuat dan adanya alam sebagai medan emperik, maka manusia makhluk yang bertanggung jawab (al-Taka>s\ur [102]:8 dan al-Nu>r [24]:24-25), makhluk educandum (membutuhkan pendidikan) dan educandus (berkemampuan mendidik) (al-Baqarah [2]:31; al-’Alaq [96]:1-5 dan Luqma>n [31]:13), pemanfaat dan pemakmur alam (al-Jumu’ah [62]:10; dan al-Baqarah [2]:60); peneliti (al-Baqarah [2]:164; Fa>t}ir [35]: 11-13); khalifah (al-An’a>m [6]:165; dan al-Baqarah [2]:30); dan ’abd (al-Z|a>riya>t [51]:56; dan Ali ’Imra>n [3]:83); (al-Baqarah [2]:31; al-’Alaq [96]:1-5 dan Luqma>n [31]:13). Ada dua aliran dalam perkembangan pemikiran Islam mengenai asal teori kependidikan yaitu aliran fatalism/predestination dan free will/free act. Fatalism direfresentasikan oleh Jabariah, Asy’ariah dan Maturidiah Bukhara, sedangkan bercorak free will diwakili oleh Qadariah, Muktazilah dan Maturidiah Samarkand. Menurut paham fatalism, pada hakikatnya potensi, kehendak, dan perbuatan manusia itu diciptakan oleh Tuhan. Manusia sekedar pelaksana dari kehendak Tuhan (Harun Nasution, 1986:116). Pandangan ini mempunyai implikasi negatif terhadap pendidikan, yaitu manusia akan bersikap pasif dan tidak mau berusaha untuk memecahkan problem hidup serta tidak ada usaha untuk mengoptimalkan kemampuannya dari dalam. Dia hanya menunggu faktor eksternal untuk memberdayakan dan mengintervensi dirinya. Sedangkan menurut paham free act, manusia bebas berkehendak dan berkuasa atas penggunaan potensi-potensinya dan berkuasa atas perbuatannya, namun kebebasan manusia bukanlah mutlak (Harun Nasution, 1986:116). Ini mempunyai implikasi positif terhadap pendidikan. Dengan adanya free act, maka manusia akan menjadi aktif. Karena ia yakin bahwa pengembangan potensi diri tergantung kepada usahanya sendiri (fendogen), dan faktor polesan lingkungan terutama lingkungan pendidikan (eksogen). Untuk itu setiap individu bertanggung jawab terhadap pengembangan dirinya dan segala aktivitasnya. Pemahaman manusia dalam bidang pemikiran Islam ternyata membawa implikasi lahirnya teori fitrah dalam pendidikan. Para ahli pendidik muslim mengakui bahwa teori dan praktek pendidikan dipengaruhi oleh pandangan bagaimana kecenderungan sifat dasar manusia yang dikenal dengan teori fitrah itu diasumsikan, apakah fatalis, netral, positif, dan dualis dan bagaimana kemampuannya untuk berkembang, apakah aktif, pasif ataupun interaktif. Kata fitrah dan segala bentuk kata jadiannya tertera pada 19 ayat dalam 17 surat (al-Baqi, 1950:156-157). Menurut Mohamed pemahaman mengenai fitrah manusia dan proses perkembangannya dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu (1) fatalis yang direpresentasikan oleh Ibn Mubarak (w. 181 H), Syekh Jailani (w. 561 H), dan Al-Azhari; (2) netral yang diwakili oleh Ibnu Abd al-Barr (w. 362 H); (3) positif, yang direpresentasikan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim (klasik), Shobuni, Mufti Muhammad Syafi’i, Ismail Raji al-Faruqi, Mohammad Asad, Syah Waliyullah (kontemporer); dan (4) dualis direpresentasikan oleh Sayyid Qutub dan Ali Shari’ati (Yasin Muhammad, 1977:41-75). Teori fatalis-pasif, mengatakan bahwa setiap individu, melalui ketetapan Allah adalah baik atau jahat secara asal, baik ketetapan semacam ini terjadi secara semuanya atau sebagian sesuai dengan rencana Tuhan. Kemampuan manusia untuk berkembang menjadi pasif, karena setiap individu terikat dengan ketetapan yang telah ditentukan Tuhan sebelumnya. Yang berpandangan netral-pasif, berasumsi bahwa anak lahir dalam keadaan suci, utuh dan sempurna, suatu keadaan kosong sebagaimana adanya, tanpa kesadaran akan iman atau kufur, baik atau jahat. Teori ini sama dengan teori tabularasa dari John Lock. Kemampuan individu untuk berkembang adalah pasif dan sangat tergantung dari polesan lingkungan, terutama pendidikan. Yang berpandangan positif-aktif berasumsi bahwa bawaan dasar manusia sejak lahirnya adalah baik, sedangkan kejahatan bersifat aksidental. Kemampuan individu untuk berkembang bersifat aktif. Manusia merupakan sumber yang mampu membangkitkan dirinya dari dalam. Yang berpandangan dualis-interaktif, berasumsi bahwa bawaan dasar manusia itu bersifat ganda (dualis). Di satu sisi sifat dasarnya cenderung kepada kebaikan, dan di sisi lain cenderung kepada kejahatan. Sifat dualis tersebut sama-sama aktif dan dalam keadaan setara. Disamping berbasis fitrah melahirkan teori pendidikan Islam, juga berbasis keagamaan dan filsafat negara dalam menafsirkan realitas dunia, fenomena dan eksistensi manusia membawa melahirkan pemikiran pendidikan Islam terutama menentukan (1) tujuan, (2) ruang lingkup dan (3) pembagian ilmu. Maka berdasar tiga ini, Ridha membagi aliran utama pemikiran pendidikan Islam menjadi tiga; al-muha>fiz (religius konservatif); al-diniy al-‘aqlaniy (religius rasional) dan al-z\arai’iy (pragmatis instrumental) (Ridha, 1980:55-92). Aliran al-muha>fiz, menafsirkan realitas jagad raya berpangkal dari ajaran agama sehingga semua yang menyangkut tujuan belajar, pembagian ilmu, etika guru dan murid dan komponen pendidikan lainnya harus berpangkal dari ajaran agama. Tujuan keagamaan adalah sebagai tujuan belajar. Aliran al-diniy al-‘aqlaniy, tidak jauh berbeda dengan aliran pertama dalam hal kaitan antara pendidikan dan tujuan belajar adalah tujuan agama. Bedanya, ketika aliran ini membicarakan persoalan pendidikan cenderung lebih rasional dan filosufis. Mereka membangun prinsip-prinsip dasar pemikiran pendidikan dari pemikiran tentang manusia, pengetahuan dan pendidikan. Aliran al-z\arai’iy, memandang tujuan pendidikan lebih banyak sisi pragmatis dan lebih berorientasi pada tataran aplikatif praktis. Ilmu diklasifikasikan berdasar tujuan kegunaan dan fungsinya dalam hidup. Demikian juga, ahli pendidikan Barat berasumsikan tentang sifat dasar dan keberdayaan manusia terhadap dunia luar yaitu emperisme, nativisme dan konvergensi. Hukum emperisme menyatakan bahwa manusia lahir sebagai kertas putih, dan perkembangannya ditentukan oleh faktor lingkungan, termasuk pendidikan. Nativisme menyatakan bahwa perkembangan manusia hanya ditentukan oleh kemampuan dasar, bakat serta faktor endogen yang bersifat kodrati. Sementara konvergensi menyatakan bahwa perkembangan manusia itu berlangsung atas pengaruh dari faktor bakat (endogen) dan faktor alam sekitar (eksogen). Lanjutan dari teori dasar ini melahirkan berbagai aliran pendidikan, yang menurut Imam Barnadib, dibagi kepada empat yaitu progresivisme, esensialisme, perenialisme dan rekonstruksianisme (Barnadib, 1982:25-26; Syam, 1986:225). Progresivisme menghendaki pendidikan pada hakikatnya progresif. Tujuan pendidikan hendaklah diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus. Pendidikan bukan hanya menyampaikan pengetahuan kepada peserta didik untuk diterima saja, melainkan yang lebih penting dari itu ialah melatih kemampuan berpikir dengan memberikan stimuli-stimuli. Dengan demikian orang akan dapat berbuat sesuatu dengan inteligensi dan mampu mengadakan penyesuaian dan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan lingkungan (Barnadib, 2002:25). Esensialisme, menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yang hakikat kedudukannya dalam kebudayaan. Nilai itu hendaklah sampai kepada manusia melalui sivilisasi dan telah teruji oleh waktu. Tujuan pendidikannya sebagai perantara atau pembawa nilai-nilai yang ada di dalam ‘gudang’ di luar ke jiwa peserta didik. Dengan demikian peserta didik perlu dilatih agar mempunyai kemampuan menyerap yang tinggi. Di samping tujuan tersebut, esensialisme menghendaki agar disampaikan warisan budaya dan sejarah seputar inti pengetahuan yang terakumulasi begitu lama dan bermanfaat untuk diketahui peserta didik (Muhaimin, 2003: 42). Perenialisme, menghendaki pendidikan kembali kepada jiwa yang menguasai Abad Pertengahan, karena abad ini, (1) merupakan jiwa yang menuntut manusia hingga dapat dimengerti adanya tata kehidupan yang telah ditentukan secara rasional; (2) dan abad ini telah dapat menemukan adanya prinsip-prinsip pertama yang mempunyai peranan sebagai dasar pegangan intelektual manusia dan yang dapat menjadi sarana untuk menemukan evidensi-evidensi diri sendiri (Barnadib, 2002:25). Di samping tujuan tersebut, juga agar membantu peserta didik menemukan kembali dan menginternalisasi kebenaran universal dan konstan masa lalu dan penyerapan dan penguasaan fakta-fakta dan informasi (Muhamin, 2003:42). Rekonstruksianisme, menghendaki agar peserta didik dapat dibangkitkan kemampuannya untuk secara konstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai akibat adanya pengaruh dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan penyesuaian seperti ini peserta didik akan tetap berada dalam suasana aman dan bebas (Barnadib, 2002:26-27). Tujuan pendidikannya agar pesera didik memiliki kesadaran akan problem sosial, politik, ekonomi umat, keterampilan untuk memecahkan problem dan membangun tatanan masyarakat baru (Muhaimin, 2003:43). Sebenarnya dua aliran besar pendidikan di atas yakni filsafat pendidikan Islam dan filsafat pendidikan Barat, ada kesamaan, di samping terdapat perbedaan. Persamaannya terletak pada orientasi apakah ke masa silam, sekarang dan akan datang dan mengikuti ke aliran yang ditentukan oleh mazhab masing-masing. Sedangkan perbedaan yang fundamental ialah sumber. Filsafat pendidikan Barat sumbernnya lebih dominan dari hasil akal budi manusia, sedangkan filsafat pendidikan Islam lebih dominan nash, dibandingkan dari hasil pemikiran yang tidak bertentangan dengan nash tersebut. II. Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan ialah (1) tematik dan (2) filsafat pendidikan. Maksud tematik ialah mengumpulkan ayat-ayat Alquran yang membahas topik tertentu dan dipandang memadai dengan menyeleksi ayat-ayat yang respresentatif (Farmawi, 1977: 52 dan 62). Maksud pendekatan filsafat pendidikan ialah inkorporatif yakni gagasan dari kajian teks karya Nawawi mengenai pendidikan, dilihat dari berbagai pemikiran pendidikan yang dilepaskan dari sistem alirannya. Dari dua pendekatan itu lalu dianalisis dengan piranti hermeneutik. Langkah operasionalnya: (1) memahami teks yang ditulis oleh Nawawi dengan cara menerjemahkan ke dalam bahasa penulis. Teks-teks yang ditulisnya dijadikan sebagai sesuatu yang mandiri, teks tidaklah terikat oleh pengarangnya, waktu penciptaannya, dan konteks budaya penulisnya dan konteks budaya yang berkembang di tempat dan waktu teks tersebut diciptakan; (2) melakukan interaksi dengan teks masa lampau itu yang didialogkan antara prejudice-prejudice peneliti dengan dunia teks, dunia konteks interpreter sendiri, sehingga akan muncul penciptaan dunia penafsiran baru; (3) proses interpretasi dan melakukan koherensi intern dan holistika. III. Hasil Penelitian Hasil temuan dengan pendekatan dan teknik analisis hermeneutik adalah: 1. Sifat Dasar, Keberdayaan, Struktur Ide Dasar dan Nilai Sentral Pendidikan Pemikiran Nawawi mengenai eksistensi alam yang rasional, dapat menjadi dasar pijakan dalam kerangka ilmu dan sekaligus menjadi asas berpikir ilmiah khususnya pengembangan pendidikan Islam. Tujuan alam ini diciptakan ialah agar manusia dapat menggali nilai-nilai kebenaran dan kemanfaatan yang terkandung di dalamnya yang dapat mengarahkan manusia kepada pengakuan eksistensial dirinya sebagai hamba Allah, terutama untuk ma’rifatullah (mengetahui eksistensi Tuhan) dengan bekal iman tauhid (Nawawi, Mura>h, tth.:440). Alam ini sebagai asas berpikir ilmiah dan dasar pijakan dalam kerangka ilmu, serta sebagai pembelajaran apabila alam ini diyakini sebagai sesuatu yang pasti, tetap atau terus menerus, ada hukum keterulangan, sifatnya obyektif, berjalan atas dasar hukum kausal, dan penciptaan alam ini mempunyai hikmah/tujuan. Karena alam dapat dijadikan sebagai pembelajaran, maka dia juga sebagai guru dalam kehidupan manusia (Nawawi, Mura>h, tth.:34, 92, 309, 340, 389, 440 dan 486; Nawawi, Qat}r, tth.:10; Nawawi, Bahjah, tth.:3). Manusia ciptaan Tuhan ini dalam pandangan Nawawi berasal dari unsur materi dan immateri, makhluk termulia, educandum dan educandus, pemegang amanah takli>f yakni menjadi khalifah dan hamba, sebagai makhluk mukhayyar (kebebasan memilih), bertanggung jawab dan diberi berbagai daya yang penuh keajaiban (‘aja>ib) dan misteri (gara>ib) yang tidak dapat diliput oleh orang yang melukiskannya (wa auda’aha>’ kull juz’ min ‘aja>ib wa gara>ib la> yuhi>t} was}f al-wa>s}ifi>n) (Nawawi, Mura>h, tth.:63 dan 340). Sifat fitrah manusia ialah tauhid-dualis dan responnya terhadap dunia luar termasuk pendidikan bersifat interaktif. Fitrah tauhid adalah yang paling kuat dalam diri manusia karena disamping merupakan perjanjian (mis\a>q) pra ekstensial yang belum teruji dan akan diuji setelah manusia bereksistensi di dunia, juga karena kecenderungan manusia kepada yang baik lebih gampang ketimbang kepada kejahatan (Nawawi, Nasa>ih, tth.:45; Mura>h, tth.: 319, 414 dan 446). Hal itu sesuai dengan Alquran yang memakai patron laha> ma> kasabat (al-Baqarah [2]: 286) untuk hal yang baik dan wa ‘alaiha> ma> iktasabat (al-Baqarah [2]: 286) untuk hal yang jahat. Sekalipun diberikan fitrah tauhid namun ia berpotensi untuk menjadi kufur. Disamping fitrah tauhid, manusia juga diberi fitrah dualis aktif yang setara (ganda dan berlawanan) yakni fitrah yang berpotensi berbuat positif dan negatif. Posisi fitrah jika berhubungan dengan dunia luar, termasuk pendidikan akan bersifat interaktif. Artinya lingkungan yang buruk merupakan agen eksternal mendorong fitrah yang negatif menjadi aktual dan melengkapinya. Demikian juga lingkungan yang baik, merupakan agen eksternal yang melengkapi fitrah tauhid dan fitrah positif menjadi aktual dalam kehidupan nyata. Manusia diberi berbagai perangkat potensi, kebebasan berkemauan, berkehendak dan berbuat sesuai dengan batas-batas kemanusiaannya dan diberikan norma dan nilai melalui para nabi. Oleh karena itu diamanati takli>f (pembebanan) dan tanggung jawab yang harus diimplementasikannya sesuai dengan konsep pemberi amanah. Maka fungsi manusia di dunia ini ialah sebagai khalifah dan sebagai hamba yang beribadah baik ibadah mah}d}ah (hubungan vertikal) maupun gair mah}d}ah (hubungan horizontal). Menjalankan fungsi ini pada hakikatnya sebagai perwujudan dari rasa syukur. Syukur dalam konsep Nawawi mencakup domain kognitif, afektif, psimotorik dan spiritual (Nawawi, Qa>mi’, tth.:11). Berikut ini hasil analisis tentang pemikiran Nawawi bahwa manusia mempunyai fitah dan daya yaitu fitrah tauhid-dualis dan bersifat interaktif terhadap dunia luar termasuk pendidikan: TERLAHIR KECENDERUNGAN KEJAHATAN WAHYU DAN KEBAIKAN Fitrah tauhid pra ekstensial dan fitrah kufur Ma’rifatullah lebih kuat dibanding dengan kekufuran karena sudah merupakan perjanjian pra ekstensial Agen eksternal mendorong fitrah negative aktual Agen Ilahiyah eksternal mendorong fitrah tauhid dan positif Fitrah dualis setara; positif dan negatif Melakukan positif dan kejahatan dalam keadaan setara Agen eksternal melengkapi fitrah negative Agen eksternal melengkapi fitrah tauhid dan positif Fitrah dualis ini bersifat interaktif terhadap dunia luar, termasuk pendidikan Fitrah melakukan kebaikan maupun kejahatan sama-sama interaktif terhadap dunia luar Fitrah kejahatan ada dalam Kalbu Syait}a>niyah, Sabu>’iyah, Bahimiyah, Nafs Amma>rah dan Lawwa>mah Fitrah tauhid dan positif ada dalam Kalbu Rabba>niyah, Nafs Mulhimah, Mut}mainnah, Ra>d}iyah, dan Mard}iyah Individu bagian integral dari kehidupan sosial. Hubungan individu dan sosial saling pengaruh. Reformasi dan transformasi sosial dalam konsep Nawawi merupakan kewajiban komunal dalam wujud amar makruf nahi munkar. Melalui konsep amar makruf nahi munkar yang dilandasi dengan iman dan ilmu akan dapat menciptakan sebuah tata sosial yang bermoral di atas dunia. Bukti keseriusan Nawawi tentang transformasi sosial dengan dasar iman dan ilmu, ia mengatakan bahwa aktivitas paling utama untuk mengisi waktu ialah memberi manfaat bagi masyarakat dengan cara memberi fatwa, mengajar, mengarang, dan menelaah kitab. Karena aktivitas tersebut dapat memperbaiki pribadi dan masyarakat dalam bingkai tata sosial yang bermoral (Nawawi, Nas}a>ih, tth.:4). Dasar dan sumber pendidikan Islam menurut Nawawi ialah Alquran, Sunnah dan Ijtihad. Kehidupan dunia adalah ujian (ibtila>’) baik ujian kebahagiaan atau kesengsaraan. Tujuannya untuk melihat posisi ketaatan hamba kepada Tuhan dan istiqa>mah pengabdian kepada-Nya. Pencapaian kehidupan dunia hanyalah tujuan instrumental untuk mencapai/sarana tujuan paripurna yakni kebahagiaan akhirat. Dengan kata lain Islam tidak memisahkan nilai-nilai ketuhanan dengan nilai-nilai keduniaan dan kepentingan dunia dan akhirat. Dunia h}asanah, menurut Nawawi adalah menyata antara kehidupan materi (dunia) dan spiritual (akhirat) (Nawawi, Mura>h, tth.:53). Untuk bisa mengkonstruksi pemikiran Nawawi tentang komponen pendidikan, harus lebih dulu dikonstruk pemikirannya tentang struktur ide dasar pendidikan. Karena struktur ide dasar ini adalah pembentuk komponen pendidikan. Disamping Nawawi mempunyai pemikiran ide dasar, juga mempunyai nilai sentral dan nilai instrumental pendidikan. Ide dasar ini dapat dilihat dalam gambar berikut: Hubungan manusia dengan struktur ide dasar pendidikan dalam pemikiran Nawawi ada enam nilai; (1) nilai penghubung antara manusia dengan Allah ialah ’ubudiyah (penghambaan) dan istikhla>f (kekhalifahan) dan untuk mencapaiannya harus dimulai dari ma’rifatullah; (2) hubungan manusia dengan manusia ialah ta’a>wun (saling menolong), ‘adl (keadilan), dan ihsa>n (berbuat lebih/terbaik); (3) hubungan manusia dengan alam ialah hubungan taskhi>r (pengelolaan dan pemanfaatan) dan pembelajaran; (4) hubungan manusia dengan dunia ialah al-bala>ya> (berbagai ujian); (5) hubungan manusia dengan akhirat ialah mas’uliyah (pertanggung jawabaan) dan jaza> (pembalasan) dan (6) hubungan manusia dengan ilmu ialah fard} (keharusan). Nilai sentral pendidikan ialah ma’rifatullah dan darinya akan memancarkan nilai-nilai instrumental pendidikan yakni syukur, amal saleh, prasangka baik, ahli, keteladanan, tawadu, takzim, sabar, cinta kasih, dan jujur. 2. Komponen pendidikan Islam Terma yang menunjuk ke pendidikan Islam ialah ta’li>m, tarbiyah dan ta’di>b. Nawawi menggunakan terma ta’li>m untuk pendidikan Islam. Menurutnya pendidikan tidak hanya terbatas pada transfer (pengajaran) norma dan nilai, ilmu, budaya, tetapi juga pendidikan (transformasi) yakni nilai dan norma itu menjadi milik pribadi peserta didik. Pendidikan tidak hanya mencakup pendidikan jasmani (praktik/amal), tetapi juga pendidikan intelektual, mental/spritual yang berjalan sepanjang hidup (Nawawi, Mura>h, tth.: h. 35, 40, 98, dan 164). Dengan kata lain, transfer dan transformatif merupakan kesatuan integral dan berjalan secara bersama-sama. Transfer merupakan strategi mencapai transformatif. Nilai dan norma dalam Islam ada yang sifatnya tekstual (normativitas) dan ada pula yang sifatnya kontekstual (historisitas). Tujuan pendidikan Islam menurut Nawawi merupakan refleksi dari fungsi hamba dan khalifah. Hakekat pendidikan itu sendiri ialah ibadah sebagai sarana reformasi sosial. Tujuan itu ialah (1) memperoleh rida Allah dan kebahagiaan akhirat; (2) menyingkirkan kebodohan dari diri sendiri dan dari orang lain; (3) menghidupkan dan mengabadikan Islam dengan sinaran ilmu; (4) mensyukuri nikmat Allah berupa pemberian akal dan badan sehat. Sebaliknya jangan sampai tujuannya menjadi kiblat orang banyak atau memperoleh keuntungan dunia semata, serta jangan pula untuk mendapat kehormatan di mata penguasa atau orang lain. Kata syukur dalam konsep Nawawi, mencakup segi kognitif/keilmuan (mengetahui bahwa nikmat yang diterimanya itu semata-mata berasal dari Allah), segi afektif (merasa senang memperoleh nikmat itu) dan segi psikomotorik dan spiritual (menggunakan nikmat itu sesuai dengan rida Allah (Nawawi, Qa>mi’, tth.:7 dan 11). Dari sini dapat dijabarkan menjadi lima aspek, yakni aspek pendidikan akhlak, akal, sosial, jasmani dan professional. Implikasi dari tujuan ini, maka ia memandang ilmu sebagai sesuatu yang dicari untuk tujuan keilmuan itu sendiri (ilmu untuk ilmu), dan reformasi sosial (ilmu untuk kemajuan dan peradaban). Bahkan dia mengatakan, barang siapa belajar ilmu, kemudian dia tidak menyampaikan kepada orang lain yang membutuhkan, maka ia akan bersekutu dalam dosa orang-orang bodoh (Nawawi, Qa>mi’, tth.:8). Menurut Nawawi, guru dalam pengajarannya memegang prinsip agar memperlakukan peserta didiknya sesuai dengan keadaannya, seperti seorang dokter memberikan terapi kepada pasiennya sesuai dengan penyakitnya (Nawawi, Mara>qi, tth.:3). Untuk itu prinsip-prinsip metodik pendidikan Islam adalah menyampaikan materi harus jelas yang dimulai dari yang mudah, yang dapat ditangkap oleh akal peserta didik, menuju ke yang sulit dan abstrak; dalam penyampaian materi harus melihat keadaan peserta didiknya; menghargai pendapat mereka; tidak menambah pelajaran sebelum pelajaran yang terdahulu dipahami\\, karena hal itu akan membuat peserta didik malas; tidak mendominasi percakapan dan adanya prinsip al-tikra>r (pengulangan) dalam pengajaran terhadap pelajaran yang memang belum dimengerti. Bahkan yang kurang berkemampuan harus ada perhatian khusus dalam membuat program pendampingan. Metode mencari ilmu menurut Nawawi dapat ditempuh melalui dua cara yakni (1) kasby dan sima>’iy (belajar dengan membaca atau mendengarkan guru) dan (2) muka>syafah (tersingkapnya cahaya yang nampak di dalam hati ketika hati suci dari sifat-sifat tercela). (Nawawi, Qa>mi, tth.:7 dan Mara>qi’, tth.:101). Menurut Nawawi, materi pendidikan Islam dimulai dari kewajiban personal lalu kewajiban komunal. Di antara kewajiban personal yang paling penting ialah tauhid yakni tauhid ulu>hiyah, rubu>biyah dan as-asma>’ wa al-s}ifah. Bahkan tauhid menjadi pusat dari segala ilmu yang dicari. Sedangkan yang wajib komunal, seperti ilmu fiqh, kedokteran, dan lain-lain. Ide-ide sentral pendidikan Islam Nawawi menghendaki; pertama, menyatukan nilai spiritual dengan nilai materi. Nilai tauhid harus menjadi basis sentral dari semua aktivitas pendidikan, termasuk tujuan pendidikan Islampun harus mengarah dan mengakarkan nilai tauhid ini. Pendidikan Islam di samping mengarah pada teosentris yang ma’rifatullah, juga antroposentris yang mengarah kepada kehidupan dunia. Antroposentris merupakan bagian integral dari teosentris. Implikasinya ialah jika falsafah antroposentris mengatakan, keberhasilan pendidikan dan kegagalan ditentukan oleh faktor hasil olah akal budi berupa proses pendidikan, sementara falsafah teosentris bahwa keberhasilan dan kegagalan tidak hanya berhenti disitu, tetapi masih ada faktor lain. Dengan kata lain, Islam mengakui keberhasilan pendidikan Islam sangat ditentukan oleh hereditas dan lingkungan atas pertolongan Allah. Kedua, menyeimbangkan antara pendidikan moral-spritual dan pendidikan akal. Pendidikan moral-spritual bertujuan membentuk manusia yang cerdas spiritual untuk mendapatkan rida Allah. Sedangkan pendidikan intelektual disamping bertujuan mencerdaskan dirinya sendiri dan masyarakat pada umumnya (reformasi sosial), juga agar agama Islam dapat hidup, abadi dan berkembang atas dasar iman dan ilmu. Ketiga, mementingkan pendidikan jasmani, akal dan spritual. Karena untuk bisa menjalankan fungsi hamba dan khalifah, mau tidak mau harus mengembangkan ketiganya. Keempat, menyeimbangkan antara kepentingan individu dan masyarakat agar dapat tercipta tata sosial yang bermoral. Berawal dari mencerdaskan dan memoralkan diri dan keluarganya, pada akhirnya akan mencerdaskan dan memoralkan masyarakatnya. Untuk itu aktivitas yang paling baik di siang hari setelah shalat Dhuha menurut Nawawi ialah memberi manfaat kepada orang lain, seperti pendidik dengan menyampaikan ilmunya. Kelima, tanggung jawab pendidikan Islam baik pendanaannya maupun aktivitasnya secara berurutan berawal dari tanggung jawab pembelajar, keluarga, pemerintah dan orang muslin yang mampu. Prinsip ini membawa implikasi adanya badan-badan wakaf pendanaan pendidikan dan program subsidi silang atau bentuk lainnya. Keenam, karena fitrah manusia adalah fitrah tahid-dualis dan aksinya bersifat interaktif, maka mengharuskan penanggung jawab pendidikan melakukan revitalisasi budaya dan lingkungan sosial untuk mendukung fitrah tauhid dan positif sekaligus mengendalikan munculnya fitrah negatif. 3. Posisi Nawawi dalam peta pemikiran pendidikan Islam Posisi pemikiran pendidikan Nawawi lebih dekat kepada Perenialis-Esensialis Mazhabi dalam konsep Muhaimin. Karena dari sisi (1) parameternya, Nawawi dalam memperkuat uraian pemikiran pendidikan banyak mengemukakan nash, dan pemikiran salaf al-s}a>lih masa abad klasik dan pertengahan. Disamping itu, ia mempertahankan dan melestarikan pemikiran para pendahulunya yang dianggap relevan dengan situasi sekarang. Dikatakan “relevan” karena menurut Nawawi, hasil pemikiran itu selalu terbuka untuk dikritik bahkan ditinggalkan. Dari sisi (2) ciri-ciri pemikirannya, menekankan pada pemberian syarh dan hasyiyah terhadap pemikiran pendahulunya dan berani mengkritisi atau mengembangkan pemikiran pendahulunya untuk merekonstruk pemikirannya sendiri. Dengan adanya pengembangan bahkan berbeda dengan yang di syarh dan dihasyiyah, menempatkan Nawawi mempunyai pemikiran yang orisinial di bidang pendidikan Islam. Sebagai fungsi pendidikan menurunya ialah disamping melestarikan dan mempertahankan nilai dan budaya serta tradisi dari satu generasi ke generasi berikutnya dan pengembangan potensi dan interaksinya dengan nilai dan budaya masyarakat terdahulu, juga pendidikan adalah ibadah sebagai reformasi dan transformasi sosial yang bermoral. Letak perbedaannya ialah bahwa Nawawi ada keberanian mengembangkan pemikiran yang diberi syarh. Dalam Qami’nya adalah diantara contoh yang dapat ditemukan. Jika merujuk kepada klasifikasi pemikiran pendidikan Islam yang dimunculkan oleh Ridha, maka Nawawi termasuk dalam aliran Konservatif Religius dan Rasional Religius. Karena ia dalam menggambarkan ide-ide dasar pendidikan, disamping kecenderungan nuansa agamisnya kuat, juga agama dikemas dengan rasional, khusunya menghargai potensi akal aktif dan kebebasan berkehendak. Di satu sisi penafsirkan realitas dunia berpangkal pada ajaran agama, tetapi juga dipahaminya secara rasional, seperti keteraturan, tetap dan keterulangan, dan punya ukuran-ukuran yang pasti. Bahkan paling baik pembuktian kebenaran tauhid menurutnya adalah melalui pemikiran rasional terhadap keteraturan dan kerahasiaan alam bukan dengan jalan doktrin. Dari sini akhirnya kalbu merasakan adanya sesuatu yang melampaui semua yang ada yakni Pencipta yang tidak diciptakan, Yang Maha Mengatur, yang tidak diatur, dan Maha Sempurna yang tidak ada kurang-Nya. Di satu sisi memperoleh ilmu, dijadikan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan keagamaan yakni rida Allah dan kebahagiaan akhirat. Tetapi ilmu juga harus dijadikan untuk memajukan peradaban dengan menghilangkan kebodohan dari manusia. Bahkan pemikiran keagamaan harus dikembangkan atas dasar iman dan ilmu. Etika pendidik dan peserta didik disamping kapabilitas keagamaannya harus dipenuhi, juga kapabilitas keilmuan dan profesionalitas. Dalam perspektif relasi pendidik dan peserta didik, disamping mengandung pengertian moralisasi, juga mendukung pengembangan akal dan amal praktek. Mengenai tujuan pendidikan, disamping kecenderungannya menjadikan tujuan-tujuan keagamaan sebagai tujuan yang berada di dalamnya juga ilmu untuk peradaban. Demikian juga dalam hal klasifikasi ilmu. Ilmu-ilmu yang wajib personal dan komunal diarahkan kepada ilmu-ilmu keagamaan, sedangkan ilmu-ilmu yang lainnya kurang mendapat tekanan. Sebagai implikasi dari pandangan Nawawi tersebut tentu terdapat dampak positif edukatif dan negatif edukatif. Dampak edukatif positifnya ialah rasa tanggung jawab yang sangat kuat pada pemikiran pendidikannya, dan mengukuhkan rasa tanggung jawab moral itu. Penghargaannya terhadap persoalan pendidikan Islam sangat tinggi, bahkan menilainya sebagai wujud tanggang jawab keagamaan yang sangat luhur. Tugas mengajar dan belajar tidak sekedar sebagai tugas-tugas profesi dan kemanusiaan tetapi lebih jauh dari itu yakni sebagai tugas agama. Tanggung jawab keagamaan sebagai titik sentral dalam pendidikan Islam dan didampingi tanggung jawab kemanusiaan. Jika tuntutan insa>niyah tidak sejalan dengan tuntutan ila>hiyah, maka yang harus dimenangkan ialah tuntutan ila>hiyah. Karena kokohnya tanggung jawab keagamaan dalam diri Nawawi, berimplikasi juga dalam tataran dana/biaya pendidikan. Dalam perspektif pendidikan Islam modern, penyelenggaraan pendidikan bermutu akan lebih mudah dicapai apabila didukung oleh dana yang memadai. Dampak negatif edukatifnya menjadikan terma al-ilm yang dalam nash bersifat mutlak menjadi terbatas, hanya pada ilmu-ilmu keagamaan, dan kecenderungan pencapaian spiritual yang lebih menonjol, mendorong pemikiran pendidikan Islam ke arah pengabaian urusan dunia dengan segala kemanfaatan dan amal usaha yang sebenarnya boleh dinikmati. Karenanya (1) pengaturan dunia diatur oleh non muslim dan (2) menjadi lemahnya pelaksanakan amar makruf nahi munkar dalam reformasi dan transformasi sosial yang bermoral. 4. Hal-hal yang mewarnai pemikiran pendidikannya Paling tidak ada empat hal yang mewarnai pemikiran pendidikannya yaitu (1) perkembangan pemikiran pendidikan Islam pada abad klasik, abad pertengahan dan abad modern, (2) latarbelakang pendidikannya dan penguasaan ilmu agama yang sangat mumpuni, (3) prinsip-prinsip ajaran mazhab dan tarekat yang dianutnya, dan (4) para guru-guru yang mendidik dan membentuk pribadiannya. 5. Refleksi pemikirannya dalam dunia pendidikan Islam Ide-ide sentral pendidikan Islam yang digagasnya tetap relevan untuk diaktualisasikan dalam masyarakat Indonesia yang religius dan multikultural. Diantaranya prinsip-prinsip pendidikan yang mengacu kepada aktulisasi teoantrposentrisme. Sifat dasar manusia dan proses perkembangannya ialah fitrah tauhid-dualis-interaktif berpengaruh dalam proses pembelajaran. Dana pendidikan yang dibebankan kepada orang-orang mampu di kalangan umat Islam termasuk prinsip yang dapat direfleksikan dalam dunia pendidikan sekarang ini. IV. SIMPULAN Nawawi al-Bantani adalah seorang ulama dan guru yang memiliki reputasi intelektual yang mengagumkan. Dia bukan hanya ahli dalam ilmu-ilmu keagamaan, tetapi juga ahli dalam pendidikan Islam. Dalam membangun pemikiran pendidikannya dimulai dari struktur ide dasar pendidikan, nilai-nilai pendidikan Islam. Lalu memantulkan dan menguraikan tentang komponen-komponen pendidikan Islam. Posisi pemikiran pendidikan Nawawi dalam peta filsafat pendidikan Islam lebih dekat kepada aliran religius konservatif dan religius rasional. Di satu sisi penafsiran realitas dunia berpangkal pada ajaran agama, di sisi lain realitas jaga raya dipahaminya secara rasional. Pemikiran pendidikannya itu diwarnai oleh situasi pemikiran pendidikan Islam baik pada abad klasik, pertengahan dan modern, kapabilitas pendidikan agamanya, abstraksi mazhab yang dianutnya, dan para guru yang membentuk karakternya. Refleksi pemikirannya sebagai besar masih relevan diimplementasikan dalam konteks pendidikan Islam sekarang. KEPUSTAKAAN Abbas, Sirajuddin, Ulama>’ Syafi’i dan Kitab-kitabnya dari Abad ke Abad, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1975. Abdullah, Abdurrahman Slaeh, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Alquran, terj. M. Arifin dan Zainuddin, Jakarta: Rineka Cipta, 1990. Abrasyi al, M. Athiyah, Ru>h al-Tarbiyah wa al-Ta’li>m, Mesir: Dar al-Ihya>’ al-Kutub al-’Arabiyah, tth. —————, Al-Tarbiyah al-Isla>miyah wa Fala>sifatuha>, Mesir: Isa al-Babi al-Halabi wa Syurakah, 1975. Ahmed, Nisar, The Fundamental Teachings of Quran and Hadith, New Delhi: Nusrat Ali Nasri for Kitab Bhavan, 1994. Ainain, Falsafah al-Tarbiyah al-Isla>miyah fi> al-Qur’a>n al-Kari>m, Mesir: Da>r al-Fikr al-Arabiy, 1980. Amin, Ma’ruf dan Anshory CH, M. Nasruddin, “Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani”, dalam Pesantren, No. 1/Vol. VI/1989. Asfahaniy al, al-Ragib, Mu’jam Mufrada>t Alfa>z} al-Qur’a>n, Beirut: Da>r al-Fikr, tth. Ashraf, Ali, Horison Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993. Asy’ari, Musa, Filsafat Islam, Sunnah Nabi dalam Berpikir, Yogya: Lesfi, 2002. Atsari, al, Syeikh Ali Bin Hasan, Tashfiyah dan Tarbiyah, terj. Muslmim al-Atsari dan Ahmas Faiz, Solo: Pustaka Imam Bukhari, 2002. Attas al, Syed Muhammad al-Naquib, Aims and Objectives of Islamic Education, Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979. Azim, Ali ‘Abdul, Falsafah al-Ma’rifah fi> Al-Qur’a>n al-Kari>m, Kairo: Al-Haiah al-Ammah, 1973. Azra, Azyumardi, “Syeikh Nawawi al-Bantani al-Jawi Guru Para Ulam Indonesia”, dalam Website http://www.republika.co.id, Juli 2003. ————-, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. B. Lewis, at.al, The Encyclopaedia of Islam, London: Ej.Brell, 1965. Badran, Abdullah (ed), Kita>b al-‘Ilm wa Adab al-A
IDE-IDE SENTRAL SYEKH NAWAWI AL-BANTANI TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
25 Juni 2010 oleh maragustamsiregar
saya senang bisa mendapatkan ilmu dari sini.syukron